Sweeping Yon Gab di Poliklinik Laskar Jihad

Berdasarkan Hasil Investigasi di Tempat Kejadian Perkara di Ambon

Berkenaan dengan peristiwa pembantaian Batalyon Gabungan (Yon Gab) terhadap masyarakat sipil di Ambon, Kamis, 14 Juni 2001, maka Dewan Pimpinan Pusat Forum Komunikasi Ahlus Sunnah Wal Jamaah sebagai institusi yang mewadahi Laskar Jihad Ahlus Sunnah Wal Jamaah, dengan ini perlu menyampaikan klarifikasi (berdasarkan hasil investigasi Ayip Syafruddin, M. Rahman Marasabesy, SH dan M. Taufik, SH (keduanya anggota Tim Pengacara Muslim) tanggal 16-19 Juni 2001 di Ambon atas beberapa berita yang dilansir oleh media cetak dan elektronik:

Peristiwa pembantaian itu sendiri bermula dari sikap arogansi pihak Batalyon Gabungan terhadap masyarakat sipil tak bersenjata yang tengah berupaya menjaga barikade di tengah jalan agar tidak dibuka oleh pihak Batalyon Gabungan. Sikap masyarakat yang begitu keras membangun barikade untuk menutup jalan masuk tersebut dilandasi oleh sikap masyarakat Islam, bahwa setiap Batalyon Gabungan melakukan sweeping di wilayah komunitas muslimin selalu berbuntut insiden. Peristiwa Batu Merah Berdarah, 19-22 Januari 2001 adalah peristiwa tragis yang selalu menimbulkan trauma mendalam bagi masyarakat sipil di Ambon. Maka, tatkala berita sweeping berkembang di masyarakat muslimin, secara serta merta masyarakat membuat blokade agar pihak batalyon gabungan tidak bisa masuk. Tatkala batalyon gabungan tersebut memasuki wilayah Tanah Rata, Desa Batu Merah, Kecamatan Sirimau, Kodya Ambon, Kamis siang (14/6) terjadilah apa yang disebut sebagai Insiden Tanah Rata. Saat itu masyarakat mencoba menghalangi laju enam buah truk Batalyon Gabungan yang melintasi Tanah Rata untuk masuk ke perkampungan Kebun Cengkeh. Namun dalam upaya tersebut (yaitu agar masyarakat tidak menghalang-halangi penyingkiran barikade oleh beberapa anggota Batalyon Gabungan tersebut), tiba-tiba batalyon gabungan langsung menembaki penduduk.


Para
warga pun berhamburan menyelamatkan diri. Naasnya ada dua orang (Abu Muadz dan Arifin, salah seorang dari keduanya masih hidup dan menjadi saksi) yang sempat tertangkap, dipukuli dengan kopel dan popor senjata. Kedua warga sipil ini selanjutnya diangkut dengan truk menuju Kebun Cengkeh. Peristiwa penembakan secara membabibuta ini bisa dilihat bukti-buktinya melalui bekas tembakan yang mengenai gedung Pengadilan Tinggi Agama (PTA). Jadi tidak benar apa yang diungkapkan oleh Menkopolsoskam, Agun Gumelar, yang mengatakan bahwa yang mengawali penembakan adalah masyarakat. Tidak benar pula batalyon gabungan ditembaki oleh warga masyarakat. Yang terbukti di tempat kejadian perkara adalah perilaku brutal dari batalyon gabungan. Insiden Tanah Rata inilah yang memicu masyarakat semakin tidak menyukai Batalyon Gabungan. Apalagi setelah diketahui ada dua warga yang diangkut paksa oleh Batalyon Gabungan. Insiden Tanah Rata adalah pemicu masyarakat untuk bersikap agresif terhadap batalyon gabungan. Sekali lagi, tidak benar apa yang diucapkan oleh Agum Gumelar sebagaimana dilansir beberapa media.

Tidak benar pula bahwa pembantaian warga sipil itu didahului oleh pertempuran antara Laskar Jihad dengan Yon 408/Diponegoro sehari sebelumnya (Koran Tempo, Jumat, 22 Juni 2001). Berita semacam ini adalah merupakan penyesatan opini yang tidak bertanggung jawab dan jauh dari kebenaran fakta di lapangan. Laskar Jihad Ahlus Sunnah Wal Jamaah tidak melakukan penyerangan atau pertempuran dengan siapa pun sehari sebelum peristiwa biadab tersebut. Yang terjadi justru penyerangan pada waktu itu berasal dari wilayah Karang Panjang (sebuah wilayah Kristen) terhadap masyarakat Ahuru (muslim). Pada waktu itu justru Yon 408/Diponegoro tidak berbuat apapun untuk melindungi warga masyarakat muslim. Tidak menghalau pasukan penyerang tersebut, bahkan membiarkan saja.

Opini-opini yang dikembangkan oleh kalangan pemerintah, khususnya TNI selalu melakukan pembelaan dan bahkan bila perlu melakukan upaya 'cuci tangan'. Ini sudah menjadi 'lagu lama' yang selalu diterapkan oleh TNI manakala terjadi kasus yang melibatkan jajaran TNI. Pola ini pernah pula diupayakan tatkala terjadi peristiwa Batu Merah Berdarah, 19-22 Januari 2001 di Batu Merah, Sirimau, Kodya Ambon. Bahkan, pada waktu itu pun pihak TNI membentuk Tim Pencari Fakta (TPF) yang ujung-ujungnya, hasil dari temuan fakta itu hanya untuk membenarkan apa yang dilakukan oleh pasukan pembantai dari TNI. Mestinya TNI telah menyalahi prosedur dan harus ditindaklanjuti ke Pengadilan Militer. Namun kenyataannya, Panglima TNI memberikan pernyataan yang sangat menyakitkan hati kaum muslimin. "TNI telah berbuat sesuai prosedur", katanya dengan mimik tanpa dosa. Menembaki warga sipil tak bersenjata, apakah itu merupakan prosedur TNI? Kalau itu memang menjadi prosedur TNI, pantas bila pembantaian terhadap warga sipil kemudian terulang kembali.